Kita Bisa Kaya dan Berjaya Dari Hasil-Hasil Pertanian Kita
(Ditulis oleh : Poloria Sitorus,
S.Pd)
(Doct.Foto : nyaribisnis.com)
Jika
membahas soal isu pertanian, tentu yang pertama sekali harus kita ubah adalah mindset,
terutama bagi kalangan millennial. Jika dulu, dunia pertanian atau
petani sering diidentikkan dengan “lumpur” dan “kemiskinan”, maka
di era ini, kita harus memiliki pola pikir dan cara pandang baru terhadap dunia
pertanian.
Pertanian
kini tak lagi melulu membahas soal lumpur. Dan tak seharusnya diidentikkan
dengan kemiskinan, pekerjaan rendah dan kotor. Tetapi lebih dari itu, pertanian
seharusnya diidentikan dengan keberlangsungan hidup, ketahanan pangan, dan
kesejahteraan masyarakat, baik skala kecil dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan
rumahtangga hingga pemenuhan kebutuhan pangan skala nasional, bahkan kebutuhan
pangan dunia secara global.
Jika
dilihat dari sudut pandang dunia pertanian, Indonesia seharusnya bisa menjadi
salah satu negara adi daya di dunia. Why? Bukankah Indonesia merupakan salah
satu negara dengan keanekaragaman hayati dan tanah yang paling subur di dunia?
Namun, faktanya Indonesia masih memiliki daftar panjang dalam dunia import
berbagai bahan pangan dari beberapa negara lain.
Seperti
dilansir dari https://www.liputan6.com/bisnis/read/791549/daftar-29-bahan-pangan-yang-diimpor-ri-sampai-november,
ternyata Indonesia masih harus mengimpor sekitar 29 jenis bahan pangan dari
berbagai negara lain di dunia. Bahan pangan yang seharusnya bisa ditanam dan
dibudidayakan di Indonesia, seperti:
Beras, Kentang, Ubi, Kacang Kedelai, Biji Gandum, Jagung, Teh, Cengkeh,
Tembakau, Gula Tebu, Daging sejenis Lembu, Daging Ayam, Mentega, Susu, Minyak
Goreng, Cabai, Bawang Merah, Bawang Putih, Kopi, Cengkeh, Kakao, Kelapa,
Tembakau dan Lada.
Mengapa
bisa demikian ?
Mari
kita telaah dan flashback sekilas sejarah singkat Indonesia. Negeri kita
ini pernah tercatat sebagai negeri terkaya penghasil rempah-rempah terbesar di
dunia sehingga menjadi incaran beberapa negara Eropa, katakanlah seperti
Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Jepang. Indonesia menjadi sasaran
imperialisme dan kolonialisme selama 350 tahun. Negeri kita dijajajah
bangsa-bangsa Eropa demi merampas kekayaan sumber-sumber daya alam dan hasil
pertanian seperti berbagai jenis rempah-rempah, mulai dari cengkeh, pala, lada
hitam, dan lain sebagainya.
Kini,
setelah merdeka selama 76 tahun akankah kita membiarkan negeri kita dijajah
lagi dengan terus bergantung pada import hasil-hasil pertanian negara
luar. Dan membiarkan tanah-tanah pertanian kita terbengkalai atau
dialihfungsikan untuk pembangunan pusat-pusat bisnis bagi para investor asing? Sudah
seharusnya kita membuka mata dengan penuh kesadaran.
Menurut
hemat penulis, pertanian kita tertinggal jauh dibanding negera-negara lain
seperti Jepang, Belanda dan Amerika Serikat, Australia dan China, dikarenakan
minimnya dukungan pemerintah terhadap riset-riset dan pengadaan teknologi dalam
dunia pertanian. Minimnya perkembangan ilmu pegetahuan, riset dan teknologi
dalam dunia pertanian kita tentu saja berbanding lurus dengan mindset
masyarakat kita terhadap dunia pertanian.
Selama
ini profesi petani sering dianggap dan diidentikan dengan kaum tua yang hidup
dan tertinggal di pedesaan. Sementara anak-anak muda, generasi penerus
cenderung memilih pekerjaan lain ke kota-kota metropolitan. Sebagian besar,
anak para petani juga terkesan malu dan gengsi jika harus meneruskan pekerjaan
orangtuanya sebagai petani.
Banyak
anak muda yang bahkan memilih menjadi “penganggurang” daripada harus
bekerja sebagai petani. Hanya karena alasan, malu dan gengsi. Apalagi jika
mereka telah menyandang gelar Sarjana atau Diploma misalnya. Sebagaian besar
dari mereka akan memilih pergi merantau ke daerah perkotaan untuk mencari
pekerjaan serabutan, asalkan tidak menjadi petani dan tidak tinggal di desa.
Itulah mindset yang selama ini telah mengakar di kebanyakan masyarakat kita.
Apa
yang menyebabkan ini? Tentu saja dasar dari semua ini adalah Pendidikan. Mindset
seperti penulis paparkan di atas tadi, sudah dicocoli oleh guru-guru kita sejak
zaman SD, SMP hingga SMA dulu. Mindset yang mengatakan bahwa profesi
yang keren itu adalah Dokter, Polisi, Tentara, Artis, Pengacara dan sebagainya.
Sedangkan profesi petani? Upps…hampir tidak ada dalam pilihan para
generasi muda kita.
Selama
berabad-abad, generasi muda kita tidak
dididik menjadi seorang pemikir, pengusaha, peneliti, melainkan dididik dengan
mental “buruh” atau karyawan. Generasi muda kita selama ini dididik
menjadi “pencari kerja” di pabrik-pabrik dan perusahaan-perusahaan asing
dan cukup bangga saja hanya dengan Gaji Bulanan sesuai UMR apalagi ditambah
sedikit iming-iming bonus ini-itu. Itulah fakta yang sangat mengerikan dalam
kurikulum dunia pendidikan kita yang sibuk gonta-ganti setiap pergantian
periode para menterinya.
Lalu
imbasnya, dunia pertanian kita selalu di garis paling belakang dalam hal
perkembangan, inovasi, hasil-hasil penelitian dan percepatan perkembangan
teknologi pertanian dibandingkan negeri-negara maju yang mengutamakan
perkembangan kemajuan bidang pertaniannya, katakanlah seperti Jepang, Belanda,
Amerika Serikat, Australia dan China.
Seandainya
sejak dulu, generasi muda kita dididik untuk menjadi para pengusaha, menjadi
peneliti dan menjadi petani sukses, tentu akan turut mendorong percepatan
pembangunan dan perkembangan teknologi pertanian kita saat ini. Namun, tak apa.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Melihat
tumbuhnya geliat muda para kaum millenials dalam membenahi dunia
pertanian kita, ini sebuah langkah yang sangat baik. Dan sebagai seorang anak
petani yang hingga saat ini mencintai dan hidup dari sektor pertanian dan
peternakan, saya turut berbangga hati dan memberikan apresiasi luar biasa,
khususnya bagi Pertama (Persatuan Petani Muda) Indonesia.
Harapan
penulis, semoga kehadiran Pertama (Persatuan Petani Muda)
Indonesia tidak sekadar hanya menjadi duta, namun lebih daripada itu mampu
menjadi penggerak dan pendorong bagi generasi muda golongan millennials
untuk bergerak di berbagai sektor pertanian sebagai jalan mata pencaharian
hidupnya. Sebab bagaimana pun, nasib dan
masa depan Pertanian Bangsa kita ada di tangan para pemuda/i.
Semoga
Pertama (Persatuan Petani Muda) Indonesia dapat
menginspirasi generasi lainnya untuk menggerakkan roda perekenomian Bangsa
melalui sektor-sektor pertanian. Dalam hal ini termasuk pengembangan dan
inovasi produk-produk hasil pertanian melalui berbagai UMKM agar nilai ekonomi
suatu produk pertanian itu semakin bernilai jual tinggi dengan meningkatkan
kualitas sehingga mampu bersaing di pasar global.
Mestinya
peran Pertama (Persatuan Petani Muda) Indonesia dapat
menginspirasi generasi lainnya untuk terjun langsung ke berbagai sektor
pertanian. Dan mengajak anak muda melakukan berbagai inovasi dalam bidang
pertanian. Semoga dengan berbagai program dan kegiatan yang dilakukan Persatuan
Petani Muda Indonesia ini perhatian pemerintah juga semakin serius untuk
memfasilitasi para kaum intelektual muda dalam pengembangan berbagai riset di
bidang pertanian. Kita patut meniru cara Jepang, Belanda, Amerika Serikat,
Australia dan China yang memajukan sektor pertaniannya dengan meningkatkan
kualitas SDM-nya.
**
Saya
sendiri masih aktif dalam geliat dunia pertanian, meski dalam skala kecil.
Sebagai seorang anak petani yang sejak kecil dididik untuk mencintai dunia
pertanian, saya selalu menanamkan prinsip dalam diri untuk selalu bertanam.
Berusaha menanam setiap kebutuhan sayur-mayur dan kebutuhan bumbu-bumbu dapur
di pekarangan rumah. Meski tidak memiliki lahan atau kebun yang luas untuk
bertanam, kita bisa menanam biotik hidup kita sehari-hari di lingkungan
pekarangan rumah atau pun di dalam pot atau menggunakan polybag
sekalipun.
Sebagaimana
diterapkan orangtua kami sejak dulu, saya selalu menerapkan menaman berbagai
jenis sayur-mayur di pekarangan rumah. Mulai dari Cabai, Tomat, Terong, Jahe,
Kunyit, Laos, Kecombrang, Daun Salam, Sereh, dan berbagai jenis sayuran lainnya
untuk memenuhi kebutuhan memasak di dapur sehari-hari.
Kelihatannya
sih sangat sederhana dan tekesan sepele. Namun, jika saya akumulasikan saya
bisa menghemat uang belanja sekitar Rp.50.000; sampai Rp.150.000; per bulan
hanya dengan memetik sayur-mayur di pekarangan rumah saya. Setiap kali saya
ingin memasak, saya cukup mengambil beberapa buah Tomat, Cabai, Daun Bawang,
Kunyit dan Jahe serta beberapa sayur-mayur dari kebun sayur mini di pekarangan
rumah. Uang belanja yang seharusnya untuk beli sayur-mayur ke pasar, bisa
ditabung dan diakumulasikan untuk kebutuhan rumahtangga yang lebih penting atau
dialihkan untuk belanja buku-buku anak. Secara tidak langsung akan tercipta “habbit”
atau kebiasaan membaca dan mencintai ilmu bagi anak-anak. Saya juga selalu
melibatkan anak-anak beraktifitas di kebun mini keluarga kami di pekarangan
rumah. Mulai dari menyediakan media tanam dalam pot/polybag, menyirami
tanaman pagi atau sore hari hingga saat memetik buah atau sayuran untuk dimasak
bersama.
Di
depan rumah yang kebetulan tanahnya masih kosong, saya tanami Labu dan Ubi
Jalar sebagai pemenuhan bahan pangan pengganti selain beras. Di beberapa sudut
rumah yang cukup memungkinkan saya tanami beberapa jenis pohon pisang, pohon
papaya, pohon markisa dan beberapa jenis tanaman Jeruk mulai dari Jeruk Purut,
Lemon, Jeruk Sambal hingga Jeruk Manis dan Santang madu. Tanaman-tanaman di
pekarangan rumah ini biasanya berbuah secara bergantian. Pada prinsipnya saya
lebih baik menanami tanaman/pohon buah di pekarangan sekitar rumah daripada
sekadar tanaman hias. Dan sejauh ini, semua buah dari hasil tanaman, baik
tanaman buah dan sayur mayur yang kami petik cukup bermanfaat dan ada beberapa
yang cukup untuk dibagi kepada para sanak saudara dan tetangga terdekat.
Jika
saja seluruh ibu rumahtangga di negeri kita memiliki mindset yang sama
atau setidaknya melalukan hal-hal sederhana sebagaimana penulis terapkan dalam
kehidupan sehari-hari, tentu saja ini akan memberi efek besar untuk menunjang
ketahanan pangan kita secara nasional. Langkah sesederhana ini tentu akan bisa
mencukupkan sumber-sumber giji keluarga kita. Makan sayur setiap hari. Menanami
pekarangan dengan pohon-pohon buah. Pastinya udara di sekitar kita juga akan
lebih sejuk dan bersih.
Jika
mindset masyarakat kita terhadap dunia pertanian bisa diluruskan,
seyogianya kegiatan bertani dan profesi menjadi seorang petani tentu tidak lagi
menjadi momok menakutkan bagi kaum millennial. Seharusnya para Sarjana
Pertanian kita dengan bangga turun tangan ke sawah untuk melakukan riset dan
penelitian serta pengembangan bibit-bibit unggul pertanian. Selanjutnya akan
turut berinovasi untuk perkembangan penggunaan dan pengembangan teknologi
pertanian untuk percepatan produksi pertanian guna pemenuhan kebutuhan pangan
nasional sehingga selayaknya kita menjadi negara peng-eksport bahan
pangan pertanian kita, bukan sebaliknya.
“Dan
seharusnya Bangsa kita bisa kaya dan Berjaya dari hasil-hasil pertanian kita!”
**
Penulis
adalah alumni Sarjana Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Medan (2014).
Saat ini berdomisili di daerah pedesaan Palaran, Kota Samarinda, Kalimantan
Timur.
Sehari-hari
sebagai Ibu Rumahtangga, Menulis/Blogger, Memasak, Beternak dan Berkebun. Hobbi
menulis dan bertanam.
Komentar
Posting Komentar