Secuil Sejarah Batak pada Situs Ugamo Malim di Huta Tinggi Laguboti
CAGAR BUDAYA
Secuil Sejarah Batak pada Situs Ugamo Malim di Huta Tinggi Laguboti
**
Ugamo Malim adalah agama asli (lokal) suku Batak Toba yang hingga saat ini masih eksis. Ugamo Malim sudah ada sejak awal mula peradaban manusia Batak yang lazim disebut Bangso Batak. Sedangkan yang disebut Parmalim (par-malim) adalah mereka para kaum penganut Ugamo Malim tersebut. Sejarah peradaban Bangso (suku) Batak ini terkait erat dengan sejarah letusan suver vulcano Gunung Api Toba Raksasa yang sangat fenomenal (diperkirakan kurang lebih sekitar 74.000 tahun yang lalu). Dan untuk mengkaji lebih banyak tentang hal ini (baca; TOBA Mengubah Dunia, seri Ekspedisi Cincin Api, KOMPAS, 2014).
Perkembangan agama pada suatu suku bangsa tentu tidak lepas dari sejarah peradaban setiap suku bangsa tersebut. Begitupun halnya yang terjadi dengan Ugamo Malim yang sudah ada dan dianut/diyakini oleh para nenek moyang suku Bangso Batak sejak zaman dahulu kala. Bahkan jauh sebelum terjadinya Kolonialisme-Imperialisme ke wilayah Nusantara (Indonesia).
Namun eksistensi Ugamo Malim hampir teracam punah sejak masuknya kaum missioneris (para penyebar agama-agama eropa) bersama datangnya penjajahan ke seluruh wilayah Nusantara (ketika itu belum dinamakan NKRI). Dalam hal ini yang paling berpengaruh adalah masuknya Nomensen yang membawa dan menyebarkan agama Kristen ke Tano Batak.
Dalam sejarah tercatat Raja Sisingamangaraja ke-XII yang juga merupakan pahlawan yang berjasa menumpas penjajahan dari wilayah Pulau Sumatera, diyakini oleh umat Parmalim sebaga “Nabi” utusan DEBATA Mulajadi Nabolon (sebutan Ugamo Malim untuk Sang Pencilta Alam Semesta)
untuk mempertahankan Ugamo Malim di Tano Batak.
**
Sejarah Ringkas Bale Pasogit Huta Tinggi (Pusat Pengembangan Ugamo Malim) di Hutatinggi Laguboti, Toba Samosir, Sumatera Utara
Berawal dari semakin sengitnya perang perlawanan antara Raja Sisingamangaraja ke-XII melawan serbuan serdadu Belanda yang bertubi-tubi dan dibantu oleh banyak mata-mata yaitu para Zending Kristen, sehingga beliau meninggalkan kampung halamannya dan singgasana kerajaannya di Bakkara menuju hutan belantara di Dairi Sidikalang. Kemudian Belanda membumihanguskan Bakkara pada tahun 1883.
Raja Sisingamangaraja kemudian menitahkan kepada para muridnya untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran Ugamo Malim. Salah satu muridnya adalah Raja Mulia Naipospos yang merupakan murid Raja Sisingamangaraja yang paling setia. Pada masa itu Raja Mulia Naipospos telah diberi jabatan sebagai “Parbaringin” dengan status “Raja Maropat” yang dapat berhubungan langsung dengan beliau dalam kegiatan pemerintahan. Raja Mulia Naipospos kemudian diberi kuasa untuk mengemban tugas sebagai “penerus” mengajarkan ajaran-ajaran suci Ugamo Malim di Tano Batak. Dan beliau menentukan rancangan bangunan Bale Pasogit (Rumah Ibadah Pertama bagi umat Parmalim) di desa Huta Tinggi, Laguboti, yang merupakan kampung kelahiran Raja Mulia Naipospos.
Sejak itu (1907) Raja Mulia Naipospos mengembangkan ajaran Ugamo Malim hingga tahun 1956 dan kemudian diteruskan oleh anak semata wayangnya, Raja Ungkap Naipospos (1956-1981) lalu diteruskan kepada cucunya sebagai generasi ke-3 yaitu Raja Marnaangkok Naipospos (1981-2017). Mereka disebut sebagai “Ihutan” oleh para pengikutnya. Maka diperkirakan usia "Bale Pasogit Huta Tinggi" berkisar antara 112 Tahun (1907-2019) .
(Foto : SULU Panondang, edisi II)
Dalam kisah turun temurun yang diyakini oleh umat Parmalim bahwa kelak “Ihutan Parmalim” akan dipilih atau terpilih secara alamiah dari keturunan Raja Mulia Naipospos (baik keturunan dari Putra maupun keturunan dari Putri).
Namun sejak meninggalnya Raja Marnangkok Naipospos (Ihutan ke-3) pada September 2017 lalu terjadilah perebutan “kekuasaan” dan “kerajaan” Ihutan Parmalim antara putra-putra Raja Marnangkok dengan adik sang Raja. Hal ini menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dan perbedaan faham di kalangan umat Parmalim. Sebagian memilih adik Sang Raja, sebagian umat yang lain memilih salah satu putra dari Sang Raja untuk menjadi “Ihutan”.
Dualisme dan pertentangan faham tersebut berujung pada perebutan Bale Pasogit Huta Tinggi yang akhirnya tidak dimiliki oleh kedua belah pihak. Saat ini Parmalim yang tidak pro pada kedua belah pihak (mengikuti petunjuk-petunjuk ghaib/kebhatinan dan keyakinan memilih Ihutannya dari keluarga Putri Sang Raja) kini telah membangun Bale Pasogitnya yang baru di kawasan huta Halasan, desa Sionggang, Kecamatan Lumbanjulu (sekitar satu jam perjalanan dari Kota Parapat, tepian Danau Toba).
Sedangkan Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi”, Laguboti terbilang lebih dekat dari Kota Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir.
Nah, kepada tim penyelenggara; Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hal mendasar yang ingin penulis sampaikan adalah untuk menjadikan “Bale Pasogit Huta Tinggi” sebagai salah satu Cagar Budaya Nasional karena menurut hemat penulis banyak nilai yang harus tetap dirawat dan dipelihara di kawasan tersebut.
Selain nilai historis sejarah pengembangan Ugamo Malim dan perjuangan Raja Sisingamangaraja dan Raja Mulia Naipospos melawan gencarnya penjajahan serdadu Belanda dan pergerakan missionaris (penyebaran agama-agama dari Eropa), kawasan tersebut juga menyimpan banyak nilai kearifan lokal budaya Batak (Toba).
Jika kawasaan tersebut dijadikan Cagar Budaya Nasional maka akan memungkinkan menjadikan kawasan tersebut sebagai objek wisata budaya sekaligus kawasan edukatif untuk pembelajaran Sejarah Batak dan Ugamo Malim bagi para peneliti atau mahasiswa di jurusan Antropologi-Budaya atau jurusan Teologia yang ingin melihat lebih jelas tentang kehidupan sehari-hari umat Parmalim.
Selain itu, Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi” juga bisa menjadi ruang terbuka bagi masyakat umum untuk melihat langsung kearifan lokal budaya masyarakat Batak Toba yang tersimpan dalam nilai filosofi ornamen-ornamen bangunan Ruma Adatnya yang dihiasi dengan Gorga Batak.
Kawasan tersebut juga memugkinkan untuk dijadikan pusat pelatihan belajar “Tortor” (tarian khas Batak Toba) yang sesuai kaidah sebenarnya—sebab kebanyakan “Tortor” yang selama ini banyak kita saksikan pada pertunjukan dan youtube cenderung telah terkikis nilai kearifan lokalnya. Kawasan tersebut juga sangat memungkinkan dijadikan sebagai objek wisata berbasis agro-ekologi, karena nuansa pemandaangan alamnya yang masih terjaga keasriannya dan masih sangat alami.
Barangkali kawasan Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi” bisa disatu padukan dalam sebuah paket perjalanan wisata bersama dengan cagar budaya lainnya seperti; Makam Raja Sisingamangaraja ke-XII di Balige, Museum T.B.Silalahi Centre, panorama Pantai Bulbul dan perjalanan mengitari Kota Balige yang penuh cerita dan kaya akan keanekaragaman kuliner lokal yang khas dan enak.
Diharapkan kerja sama antara pemerintah daerah setempat dengan dinas pariwisata terkait yang bersinergi dengan masyarakat setempat untuk memelihara kawasan tersebut menjadi Cagar Budaya Nasional.
**
Salam...
(Poloria Sitorus, S.Pd)
Penulis adalah mantan jurnalis yang ingin terus menulis. Saat ini berdomisili di kota tepian Sungai Mahakam. Asal aslinya dari Pulau Sumatera.
Secuil Sejarah Batak pada Situs Ugamo Malim di Huta Tinggi Laguboti
**
Ugamo Malim adalah agama asli (lokal) suku Batak Toba yang hingga saat ini masih eksis. Ugamo Malim sudah ada sejak awal mula peradaban manusia Batak yang lazim disebut Bangso Batak. Sedangkan yang disebut Parmalim (par-malim) adalah mereka para kaum penganut Ugamo Malim tersebut. Sejarah peradaban Bangso (suku) Batak ini terkait erat dengan sejarah letusan suver vulcano Gunung Api Toba Raksasa yang sangat fenomenal (diperkirakan kurang lebih sekitar 74.000 tahun yang lalu). Dan untuk mengkaji lebih banyak tentang hal ini (baca; TOBA Mengubah Dunia, seri Ekspedisi Cincin Api, KOMPAS, 2014).
Perkembangan agama pada suatu suku bangsa tentu tidak lepas dari sejarah peradaban setiap suku bangsa tersebut. Begitupun halnya yang terjadi dengan Ugamo Malim yang sudah ada dan dianut/diyakini oleh para nenek moyang suku Bangso Batak sejak zaman dahulu kala. Bahkan jauh sebelum terjadinya Kolonialisme-Imperialisme ke wilayah Nusantara (Indonesia).
Namun eksistensi Ugamo Malim hampir teracam punah sejak masuknya kaum missioneris (para penyebar agama-agama eropa) bersama datangnya penjajahan ke seluruh wilayah Nusantara (ketika itu belum dinamakan NKRI). Dalam hal ini yang paling berpengaruh adalah masuknya Nomensen yang membawa dan menyebarkan agama Kristen ke Tano Batak.
Dalam sejarah tercatat Raja Sisingamangaraja ke-XII yang juga merupakan pahlawan yang berjasa menumpas penjajahan dari wilayah Pulau Sumatera, diyakini oleh umat Parmalim sebaga “Nabi” utusan DEBATA Mulajadi Nabolon (sebutan Ugamo Malim untuk Sang Pencilta Alam Semesta)
untuk mempertahankan Ugamo Malim di Tano Batak.
**
Sejarah Ringkas Bale Pasogit Huta Tinggi (Pusat Pengembangan Ugamo Malim) di Hutatinggi Laguboti, Toba Samosir, Sumatera Utara
Berawal dari semakin sengitnya perang perlawanan antara Raja Sisingamangaraja ke-XII melawan serbuan serdadu Belanda yang bertubi-tubi dan dibantu oleh banyak mata-mata yaitu para Zending Kristen, sehingga beliau meninggalkan kampung halamannya dan singgasana kerajaannya di Bakkara menuju hutan belantara di Dairi Sidikalang. Kemudian Belanda membumihanguskan Bakkara pada tahun 1883.
Raja Sisingamangaraja kemudian menitahkan kepada para muridnya untuk mempertahankan dan mengembangkan ajaran Ugamo Malim. Salah satu muridnya adalah Raja Mulia Naipospos yang merupakan murid Raja Sisingamangaraja yang paling setia. Pada masa itu Raja Mulia Naipospos telah diberi jabatan sebagai “Parbaringin” dengan status “Raja Maropat” yang dapat berhubungan langsung dengan beliau dalam kegiatan pemerintahan. Raja Mulia Naipospos kemudian diberi kuasa untuk mengemban tugas sebagai “penerus” mengajarkan ajaran-ajaran suci Ugamo Malim di Tano Batak. Dan beliau menentukan rancangan bangunan Bale Pasogit (Rumah Ibadah Pertama bagi umat Parmalim) di desa Huta Tinggi, Laguboti, yang merupakan kampung kelahiran Raja Mulia Naipospos.
Sejak itu (1907) Raja Mulia Naipospos mengembangkan ajaran Ugamo Malim hingga tahun 1956 dan kemudian diteruskan oleh anak semata wayangnya, Raja Ungkap Naipospos (1956-1981) lalu diteruskan kepada cucunya sebagai generasi ke-3 yaitu Raja Marnaangkok Naipospos (1981-2017). Mereka disebut sebagai “Ihutan” oleh para pengikutnya. Maka diperkirakan usia "Bale Pasogit Huta Tinggi" berkisar antara 112 Tahun (1907-2019) .
(Foto : SULU Panondang, edisi II)
Dalam kisah turun temurun yang diyakini oleh umat Parmalim bahwa kelak “Ihutan Parmalim” akan dipilih atau terpilih secara alamiah dari keturunan Raja Mulia Naipospos (baik keturunan dari Putra maupun keturunan dari Putri).
Namun sejak meninggalnya Raja Marnangkok Naipospos (Ihutan ke-3) pada September 2017 lalu terjadilah perebutan “kekuasaan” dan “kerajaan” Ihutan Parmalim antara putra-putra Raja Marnangkok dengan adik sang Raja. Hal ini menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan dan perbedaan faham di kalangan umat Parmalim. Sebagian memilih adik Sang Raja, sebagian umat yang lain memilih salah satu putra dari Sang Raja untuk menjadi “Ihutan”.
Dualisme dan pertentangan faham tersebut berujung pada perebutan Bale Pasogit Huta Tinggi yang akhirnya tidak dimiliki oleh kedua belah pihak. Saat ini Parmalim yang tidak pro pada kedua belah pihak (mengikuti petunjuk-petunjuk ghaib/kebhatinan dan keyakinan memilih Ihutannya dari keluarga Putri Sang Raja) kini telah membangun Bale Pasogitnya yang baru di kawasan huta Halasan, desa Sionggang, Kecamatan Lumbanjulu (sekitar satu jam perjalanan dari Kota Parapat, tepian Danau Toba).
Sedangkan Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi”, Laguboti terbilang lebih dekat dari Kota Balige, ibukota Kabupaten Toba Samosir.
Nah, kepada tim penyelenggara; Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hal mendasar yang ingin penulis sampaikan adalah untuk menjadikan “Bale Pasogit Huta Tinggi” sebagai salah satu Cagar Budaya Nasional karena menurut hemat penulis banyak nilai yang harus tetap dirawat dan dipelihara di kawasan tersebut.
Selain nilai historis sejarah pengembangan Ugamo Malim dan perjuangan Raja Sisingamangaraja dan Raja Mulia Naipospos melawan gencarnya penjajahan serdadu Belanda dan pergerakan missionaris (penyebaran agama-agama dari Eropa), kawasan tersebut juga menyimpan banyak nilai kearifan lokal budaya Batak (Toba).
Jika kawasaan tersebut dijadikan Cagar Budaya Nasional maka akan memungkinkan menjadikan kawasan tersebut sebagai objek wisata budaya sekaligus kawasan edukatif untuk pembelajaran Sejarah Batak dan Ugamo Malim bagi para peneliti atau mahasiswa di jurusan Antropologi-Budaya atau jurusan Teologia yang ingin melihat lebih jelas tentang kehidupan sehari-hari umat Parmalim.
Selain itu, Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi” juga bisa menjadi ruang terbuka bagi masyakat umum untuk melihat langsung kearifan lokal budaya masyarakat Batak Toba yang tersimpan dalam nilai filosofi ornamen-ornamen bangunan Ruma Adatnya yang dihiasi dengan Gorga Batak.
Kawasan tersebut juga memugkinkan untuk dijadikan pusat pelatihan belajar “Tortor” (tarian khas Batak Toba) yang sesuai kaidah sebenarnya—sebab kebanyakan “Tortor” yang selama ini banyak kita saksikan pada pertunjukan dan youtube cenderung telah terkikis nilai kearifan lokalnya. Kawasan tersebut juga sangat memungkinkan dijadikan sebagai objek wisata berbasis agro-ekologi, karena nuansa pemandaangan alamnya yang masih terjaga keasriannya dan masih sangat alami.
Barangkali kawasan Cagar Budaya “Bale Pasogit Huta Tinggi” bisa disatu padukan dalam sebuah paket perjalanan wisata bersama dengan cagar budaya lainnya seperti; Makam Raja Sisingamangaraja ke-XII di Balige, Museum T.B.Silalahi Centre, panorama Pantai Bulbul dan perjalanan mengitari Kota Balige yang penuh cerita dan kaya akan keanekaragaman kuliner lokal yang khas dan enak.
Diharapkan kerja sama antara pemerintah daerah setempat dengan dinas pariwisata terkait yang bersinergi dengan masyarakat setempat untuk memelihara kawasan tersebut menjadi Cagar Budaya Nasional.
**
Salam...
(Poloria Sitorus, S.Pd)
Penulis adalah mantan jurnalis yang ingin terus menulis. Saat ini berdomisili di kota tepian Sungai Mahakam. Asal aslinya dari Pulau Sumatera.
Komentar
Posting Komentar