Seberapa Penting Pelajaran Etika dalam Kehidupan Manusia ?
Kali ini saya ingin menulis semacam refleksi untuk diri sendiri. Dan semoga bermanfaat untuk teman-teman pembaca. Ini menyangkut harga diri, kesabaran, ketabahan dan perlunya pelajaran etika dalam kehidupan umat manusia.
*
Kisah ini berawal ketika pada bulan February 2019 kami kedatangan seorang tamu perempuan, sebut saja inisialnya Miss Vp. Dia merupakan keluarga dari saudara sepupu suami. Kami tinggal bersama di mess kantor tempat suami bekerja. Vp juga bekerja di kantor yang sama.
Kami menyambutnya dengan hangat dan bersahabat sebagaimana sikap kami kepada para tetamu dan saudara-saudara yang lain. Sebulan pertama, bertepatan saya pasca melahirkan dengan operasi sc, suami saya selalu membantu menghidangkan makanan karena saya belum benar-benar pulih. Seperti biasa Vp kami persilahkan sarapan, makan siang dan makan malam. Begitu seterusnya hingga bulan kedua, ketiga dan bulan-bulan berikutnya.
Anehnya selama beberapa bulan bersama kami, Miss Vp ini memang tidak pernah ada inisiatif misalnya untuk sekadar bantu-bantu di dapur meski dia melihat saya selalu kerepotan memasak (termasuk menyediakan makanan baginya sejak pagi, siang hingga malam), nyuci, beresin dapur, sekaligus mengurus kedua putra saya yang masih kecil.
Saya semakin jengkel ketika saya melihat dia begitu bisanya duduk bersantai di meja makan sambil nelpon sama pacarnya (dengan bahasa dan kata-kata yang selalu kasar), sementara saya penuh keringat sedang ngepel tangga menuju lantai dua (Lt.2) yang sebenarnya saya lakukan adalah ingin memberi contoh kelak dia sebagai anak perempuan sangatlah wajar baginya untuk ikut membersihkan rumah dimana dia tinggal.
Suatu ketika saya tegaskan padanya untuk mengambil peran bersih-bersih di Lt.2. Miss Vp ini malah bilang; “Lhooo kan ada pembantu Mess,” katanya tanpa beban dengan nada seenaknya. “Apa katamu? Pembantu Mess? Tidak pernah ada pembantu mess disini,” kataku.
“Kalaupun kemarin kamu melihat ada ART disini selama sebulan, itu khusus buat cuci popok bayi, itupun karena saya baru melahirkan dengan operasi, jadi belum kuat nyuci,” saya jelaskan pada Miss Vp. Namun dia diam dan pergi begitu saja.
Minggu berganti bulan, sifat dan karakternya yang lebih buruk akhirnya mulai meresahkan kami. Miss Vp kerap keluar malam dan pulang hingga lewat tengah malam tanpa izin sepatah katapun. Sering kami berdebat dengan suami untuk buka pintu. Jujur saja, saya merasa terganggu dengan sikap dan perilakunya yang tidak tahu etika itu.
Sekali saya tegur baik-baik dan bicarakan langsung padanya.
"Kita tinggal di lingkungan masyarakat bermoral dan beretika. Kurang baik jika melihat anak perempuan sepertimu pulang hingga larut malam," kataku suatu ketika. Miss Vp diam saja. Tidak menggubris sama sekali. Setelah itu dia diam hingga berminggu-minggu.
Lalu hal itu saya bicarakan dengan bibi dan pamannya yang membawa dia tinggal bersama kami. Maksud hati agar semua baik-baik saja dan berharap Vp faham sedikit saja soal etika hidup di lingkungan masyarakat, sementara kami disini adalah pendatang (perantau). Tetangga sebelah rumah kami yang kebetulan sering mamantau cctv milik mereka, melihat Miss Vp yang sering kelayapan malam dan pulang pagi. Si tetangga juga pernah menyinggung soal Miss Vp ini kepada kami meski dengan bercanda.
Tapi ternyata, sejak diajak bicara secara terbuka dengan bibi dan pamannya, Miss Vp menjadi diam dan menunjukkan sikap kaku kepada kami. Sepertinya dia tidak terima dinasehati. Setiap kali saya memulai menyapanya, misalnya saat dia akan keluar atau masuk rumah, dia tidak mau menyahut sama sekali. Benar-benar, saya merasa konyol sebab rasanya seperti "mengajak batu bicara." Sia-sia. Tapi meski dia tak lagi mau bicara dengan saya, saya tetap mempersilahkan Vp makan apapun yang saya sajikan di meja. Pesan suami saya selalu; "jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga." "Ingatlah selalu kebaikan pamannya terhadap kita," begitu selalu pesan suami saya.
Maka setiap kali melihat Miss Vp berjalan dengan angkuhnya, saat disapa berulangkali tetap tidak mau menjawab, saya mengusap dada. Pilu di dalam hati. Baru kali ini saya bertemu manusia jenis Miss Vp ini dalam hidup saya. Rasanya jengkel juga. Tapi tetap saja, saya tidak tega melihat dia jangan sampai menahan lapar. Sering saya ajak atau persilahkan dia makan lewat chatt di wa karena memang dia tidak mau bicara lagi dengan kami seisi rumah ini. Lucu juga yah... Dia sanggup tidak bertegur sapa dengan siapapun di rumah ini. “Anehnya, manusia darimana Vp ini yah?”, kadang terlintas pertanyaan seperti itu di benak saya.
Lama kelamaan, sifat dan sikapnya koq semakin menjadi-jadi. Saat paman dan bibinya pulang kampung ke Sumatera sekitar dua (2) minggu Miss Vp kembali berulah dan bertingkah seenaknya. Pergi dan pulang seenaknya hingga larut malam. Keseringan sampai lewat jam 12 malam. Atau pulang pagi. Kami merasa terganggu harus repot bukain pintu untuknya. Belum lagi anak-anak juga terganggu tidurnya karena ribut bukain pintu buat si Miss Vp itu. Ditambah lagi kata-kata tetangga sebelah, yang meski bercanda tetapi menusuk. "Hahaha...anak perempuan yang satu itu yah, kayak ayam mau bertelur saja, nyari-nyari jantan...hahaha," begitu guyonan si tetangga. Saya semakin jengkel melihat sifat Miss Vp itu yang memang tidak tahu aturan. Telinga saya terasa panas. Bukan apa, persoalannya Miss Vp tinggal serumah bersama kami. Jadi sewajarnya dia ber-etika dong dan tahu aturan hidup disini.
Akhirnya saya ceritakan semua unek-unek saya tentang Miss Vp kepada Komisaris tempat dia bekerja. Karena menurut saya paman dan bibinya tidak diakuinya sama sekali. Tidak berpengaruh kepada Miss Vp.
"Sah sah saja merekrut karyawan dari pihak keluarga, tapi saran saya, Anda harus menyaring SDM yang masuk. Setidaknya diperhatikan bobot, bibit, bebetnya. Coba dibuat SOP atau dilakukan semacam Psikotest atau Tes Karakteristik dan Tes Kepribadian. Menurut saya manusia berkarakter baik dan berintegritas tinggi, itu jauh lebih penting," kataku.
Unek-unek saya ini akhirnya sampai kepada paman si Miss Vp yang membawanya kesini. Setelah itu paman dan bibi si Vp begitu marah pada saya karena persoalan ponakannya Vp yang sering keluyuran malam, tidak tahu etika dan tata krama serta membuat banyak masalah dengan teman-temannya yang terbilang masih baru itu. Dalam kasus ini, semua pihak menyalahkan saya.
Sementara, pada bulan ke-lima, semua teman-temannya yang dulu sempat akrab dengan Miss Vp itu selalu mengeluhkan soal sikap Miss Vp yang memang kata mereka tidak tahu etika sama sekali. (NB; Sayalah yang sejak awal memperkenalkan Miss Vp ini dengan Ma dan La, teman sekampung saya dari Sumatera yang telah kami anggap sebagai sepupu di perantauan ini). Niat dan maksud hati saya, kelak Miss Vp ini ada teman ke geraja atau kegiatan muda-mudi yang positif untuknya. Itu sebabnya saya memperkenalkan Miss Vp kepada Ma dan La untuk berteman.
Belakangan, Miss Vp mulai sering “nginap” di kost Ma dan La dan membawa laki-laki, pacaran hingga lewat tengah malam tanpa seizin yang punya kost. Wajar saja mereka yang punya kost (terutama Ma) marah dan jengkel pada sikap Miss Vp sementara Vp baru saja datang ke kota ini sebagai pendatang baru, eehhh...malah bertingkah seolah-olah dia sendiri yang punya rumah saat berada di kost Ma dan La dan tidak menghormati teman-temannya itu. Suatu malam, saya mendapat wa dari Ma. Ma sepertinya sangat emosional melihat tingkah laku Miss Vp yang semakin semena-mena dan tidak tahu etika itu. Puncaknya ketika ibuk kost mereka marah besar kepada Ma karena si Miss Vp yang sering pacaran di teras kost mereka hingga lewat tengah malam. Ironisnya, sang ibuk kost sampai mengusir mereka dari kost tsb. Kemarahan Ma terhadap Miss Vp akhirnya meledak juga. Sebab sudah lama Ma merasa jengkel melihat sifat, sikap dan perilaku Mis Vp yang tidak tahu etika itu. Ma mengirim wa kepada saya.
“Kak, tolong bilang ke Miss Vp ini jangan tidur disini. Jangan datang-datang ke kost kami lagi. Kami tidak suka melihatnya. Miss Vp itu, perempuan nggak beres ternyata. Etikanya NOL. Percuma saja D3,” begitulah isi wa Ma ke saya. Wa itu dikirim sekitar pkl.23.59 wita. Saya membacanya pagi. Memang semalaman itu Miss Vp tidak pulang ke rumah dan dia sudah terbiasa seperti itu. Pulang tengah malam atau pulang pagi sesukanya. Saya tertawa di dalam hati saat baca wa dari Ma. Akhirnya mereka tahu karakter Miss Vp yang sebenarnya. Jadi mau bagaimana lagi. Namun Ma mengelukan sikap Miss Vp kepada saya karena menduga Vp sebagai adik sepupu saya. “Maaf, Miss Vpp itu bukan siapa-siapa saya. Tidak ada hubungan darah saya dengannya. Silahkan kalian bicara secara langsung kepada orang yang bersangkutan,” begitu kata saya kepada Ma yang selalu mengeluhkan perilaku Miss Vp yang mengganggu ketenangan mereka di kost mereka sendiri.
Namun akhirnya saya merasa semakin jengkel juga sekaligus menyesal. Menyesal mengapa manusia jenis Miss Vp itu didatangkan dalam kehidupan kami. Padahal beberapa tabun sebelum Vp datang, hubungan kekeluargaan dan persaudaraan kami dengan bibi dan pamannya sangatlah baik. Setelah Miss Vp itu ada bersama kami, semua rusak, terjadi kesalah fahaman. Tentu saja paman dan bibinya tidak tahu bagaimana sikap, sifat dan perilaku Mis Vp yang sebenarnya. Sebab paman dan bibinya tinggal jauh dari sini. Dan mereka tidak melihatnya sehari-hari. Parahnya lagi, kalau di depan paman dan bibinya Miss Vp ini bisa berlagak (berakting) begitu manis bicaranya dan seolah sangat lemah lembut. Kita yang karakter aslinya sehari-hari, merasa jengah.
Sementara setelah paman dan bibinya pulang, Miss Vp itu akan segera kembali ke wujud aslinya. Bicara keras-keras dengan nada kasar. Sering dari mulutnya keluar nama-nama dan jenis hewan dari kebun binatang. Kita sering mendengarnya saat dia sedang menjawab telpon. Entah itu telpon dari siapanya. Tetap saja kita tidak suka mendengar nada bicaranya seperti itu. Satu hal penting yang patut diingat. Anak-anak saya masih kecil (usia 2 tahun 6 bulan), tidak baik mendengar kata-kata kebun binatang yang keluar dari mulut si Miss Vp itu. Saya pernah menegurnya terang-terangan. “Tolong jangan bicara dengan kata-kata kebun binatang seperti itu terutama kalau anak-anak saya mendengarnya. Itu bahaya!” Miss Vp diam saja dan pergi. Begitulah selalu. Mungkin teman-teman pembaca juga akan melakukan hal yang sama jika berhadapan dengan manusia seperti jenis Miss Vp itu. Dia memang benar-benar tidak ber-etika.
Tidak hanya keluar-masuk pintu utama, keluar-masuk pintu kamar saya pun Miss Vp sama sekali tidak tahu etika *mengetuk pintu. Itu contoh hal yang paling sederhana. Ternya dia melakukan hal yang sama saat bermain ke kost teman-temannya. Masuk dengan menerobos saja. Tanpa sepatah kata. Tanpa mengetuk. Begitupun saat memasuki Kantor kerja Ma dan La. Miss Vp sering masuk menerobos begitu saja. Sampai-sampai seisi kantor Ma terheran-heran dan ikut jengkel dengan ketidak sopanan Miss Vp. Entahlah, mungkin selama dia kuliah sebagai D3 tidak ada mata kuliah khusus etika, moral atau mata kuliah filsafat di jurusannya. Atau mungkin orangtuanya lupa mengajarinya tentang hal-hal mendasar itu sejak dini. Saya prihatin melihat karakter Miss Vp itu. Dengan sikap, sifat dan perilakunya yang tidak ber-etika itu, akhirnya dia disingkirkan teman-temannya.
*
Terakhir saya dengar Vp akan segera dipulangkan dan dipecat dari pekerjaannya. Sebab pamannya sendiri sebagai Boss di Kantornya konon sudah memperingatkannya hingga tiga kali (3X) namun tidak digubris sama sekali. Menurut saya, Miss Vp ini memang tidak bisa menghormati manusia lainnya. Siapapun itu. Meskipun paman dan bibinya sendiri. Entah apakah kepada ayah dan ibunya dia bersikap sama tidak hormatnya. Sebab jika dia sedikit saja menghormati paman dan bibinya itu, tentu saja dia akan mendengarkan nasehat-nasehat pamannya yang notabene pamannyalah yang mangajak dia merantau ke pulau ini. Tapi sayang seribu kali sayang. Nasi telah menjadi bubur.
Hal yang paling saya sesali saat ini adalah mengapa ada manusia jenis Miss Vp yang sama sekali tidak faham etika dan tidak memiliki rasa empati sedikitpun terhadap sesamanya. Dia manusia paling egois yang pernah saya temui di muka Bumi ini. Dan semoga dialah yang terakhir. Semoga tidak ada manusia seperti itu lagi. Selama saya mengenalnya, tak pernah sedikitpun dia memiliki pengertian, perasaan empati atau simpati kepada orang di sekitarnya. Dia hanya tahu kepetingan dan kebutuhannya sendiri tanpa memikirkan keadaan oranglain di sekitarnya. Jujur saja, selama berbulan-bulan dia makan gratis masakan saya tanpa peran apapun. Saya tidak mengharapkan materi apapun darinya. Namun di depan matanya saya kerepotan memasak di dapur, sebentar-sebentar mengejar anak saya yang masih bayi yang terkadang rewel karena haus atau pengen ganti popok misalnya, Miss Vp itu bisa duduk santai di meja makan main hp tanpa ada inisiatif sedikitpun misalnya menggantikan saya mengaduk masakan di wajan. Anak perempuan seperti itu, menurutku sangat aneh. Tapi mungkin saja dia merasa di atas langit karena sejak awal dijamu seperti tamu kehormatan di rumah ini.
Miss Vp mungkin hanya salah satu contoh. Mungkin saja teman-teman pembaca pernah menemukan manusia jenis Miss Vp ini? Semoga tidak yah... Yang saya jabarkan dalam tulisan ini baru secuil tentang Miss Vp. Sebab rasanya tidak mungkin menulis semua tentangnya. Barangkali butuh seratus lima puluh halaman kertas untuk menjelaskan semua tentang Miss Vp itu.
Dari kasus ini, saya merasa sangat prihatin terhadap moral dan mental remaja dan anak-anak di era milenial ini yang seakan minus pendidikan moral dan etika. Barangkali nilai ini menjadi alpa dari pandangan para orangtua milenial yang sibuk memberi gadget kepada anak-anaknya karena sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Kita sering lupa mengajak anak bersosialisasi, bertatakrama sekaligus menanamkan nilai-nilai paling dasar seperti pentingnya etika, rasa empati dan simpati serta sikap saling menghormati dalam kehidupan kita sehari-hari.
“Anak-anak juga perlu diajarkan dan diajak mengenal nilai-nilai budaya dan adat-istiadat nenek moyangnya. Sebab mereka yang mengenal sejarah nenek moyangnya, asal muasalnya, dialah yang sungguh-sungguh mengenal hakikat dirinya. Jati dirinya secara utuh. Dan yang lupa akan itu, tidak mengenal jati dirinya sebagai manusia.”
**
Poloria Sitorus, S.Pd.
(Penulis adalah ibu rumahtangga, mantan jurnalis yang ingin terus menulis.)*
Komentar
Posting Komentar